SUARAPUBLIC – Sepertinya “penyakit” PLN memadamkan listrik nyaris merata di seluruh Nusantara. Terbukti, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maluku, mendukung aspirasi sejumlah warga masyarakat Ambon yang ingin memboikot pembayaran tagihan listrik. Warga merasa dirugikan oleh PT PLN karena listrik kembali byarpet sejak awal Januari 2010.
"Saya tadi dapat informasi, ada sejumlah warga yang tidak mau membayar tagihan listrik karena sering padam. Kami mendukung keinginan warga karena seharusnya ada timbal balik kewajiban, PLN menyediakan pasokan energi dan warga membayar sebagai pengguna energi," ujar Melkias Frans, Ketua Komisi B DPRD Maluku, Selasa (26/1).
Menurut Melkias, jika PLN tidak mampu menyediakan pasokan energi dan masyarakat harus terus membayar tagihan, itu tidak adil. Akibat listrik byarpet, warga dirugikan secara ekonomis, misalnya alat-alat elektronik rusak. Padahal, tidak ada kompensasi atas kerusakan itu.
Melkias menegaskan, warga masyarakat sudah bosan dengan janji-janji PLN yang menyatakan listrik akan normal mulai awal 2010. Kenyataannya, PLN Maluku tidak mampu memenuhi janjinya. DPRD Maluku turut pula menjadi korban, karena dinilai ikut membohongi rakyat.
Risnandar, warga Waihaong, Ambon, mengaku pernah memboikot pembayaran tagihan listrik. Tapi, PLN tak ambil peduli karena tagihan bulan berikutnya semakin membengkak. Bahkan ditambah denda dan diancam pemutusan aliran listrik.
Di beberapa permukiman di kota Ambon, pemadaman listrik bisa mencapai 16 jam per hari, seperti di daerah Gunung Nona. Di daerah Lateri, listrik padam 13 jam dan di Galunggung 8-10 jam. Krisis listrik cenderung bertambah parah. Sementara pemerintah terkesan tak berkutik.(*)
Edwin van der Sar Sebut Manchester United Kehilangan Karakter
-
Edwin van der Sar meminta manajer Manchester United untuk segera
membangkitkan motivasi para pemain. Manchester United mengundang perhatian
dari para manta...
4 tahun yang lalu
Posting Komentar
Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan editorial redaksi SUARAPUBLIC. Redaksi berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan